Sabtu, 21 Juni 2008

Dentuman Hati


"Tulisan ini kenangan Ramadhan yang telah berlalu. Mungkinkah aku kan menyapanya lagi"(Semoga) Amien...

Senja mulai tersenyum menampakkan bias cahaya di ufuk timur, disudut itu kutatap tajam berusaha membalas senyumannya meskipun mataku sayu. Wajahnya yang mega sapa yang santun menjernihkan penglihatanku. Di bulan Ramadhan, di pagi hari ku perkenalkan diriku dengan alam lain, kesejukan terasa bersamanya. Musim semi menyambut kehadiranku dinegri fir'aun. Bunga bertebaran ditaman, bermekaran segar tersentuh basah embun yang jernih menambah suasana asri, romantis, nyaman.

"Yup," Kata itu. Selama ini yang ingin kudendangkan ditelingaku. Kini telah bertabuh dan menari-nari dipotret kehidupanku. Hitam putih jadi warna favoritku.

Kepenatan melebur ke seluruh sendi ototku setelah seharian berjubel dengan pengurusan adminitrasi kuliah. Ablah Wafa’ membuatku mengelus dada hampir tiga jam thabur. Kakiku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Yah malah dibukrohin.

Rumahku tidak terlalu jauh dari kuliah banat. Hay-Tsabi’ salah satu daerah madinat Nasr. Biasanya aku hanya menaiki el-tramko tuk sampai kesana hanya 25 pister. Sesampai di rumah." Ahhh…" Kurebahkan tubuh di atas sarir empukku. Mesin otak seakan berkarat seperti tak terpakai beribu abad. Kubiarkan mata terpejam dan terbang bersama mimpi diterik siang.

Menjelang sore aroma masakan membuyarkan mimpi indahku, sehingga membangunkanku, menyatukan jasad dengan ruh yang tak sejalur dalam tidurku."Berisik," teriak batinku. Reflek kakiku menyentuh lantai seperti ada kekuatan tuk mendekatinya, dengan langkah seorang pemabuk tergiur akan kenikmatan minuman araknya.

"Assalamu’alaikum!?"

"Sehat!?" suara asing menyapa lembut di daun telingaku mengerakkan kelopak mata pejamku. Wajahku melongok ke arah suara itu. Dua orang lelaki yang baru kukenal duduk manis menatapku.

"Wa’alaikumsalam"

"Alhamdulillah" jawabku.

"Ku tinggal dulu kebelakang ya kak?!" wajahku memerah tersipu malu kubalikkan badanku menjauh dan kusembunyikan wajah dalam air wudhuku.

Selesai shalat ashar, kutenangkan diri menelusup dalam lorong doa. Kubelai sajadah panjang dengan sentuhan keningku. Membuang benih keresahan. Taslim jasadku mengosongkan angan-angan tak bertepi. Keteduhan sore hari menyingkap tabir kekuatan itu di depan mataku. Sosok pria di sampingku membentuk tanda tanya dalam hati.

"Kamu Mia kan?!" tanyanya memulai pembicaraan.

"Dari Jawa mana Mia?" lanjutnya dengan pandangan matanya konsisten pada permainan computer di atas meja makan panjang yang dimainkannya sedari tadi, dengan tangan kanan memegang mouse meliuk-liuk seperti gerakan ular.

"Jawa Tengah, Kecamatan Asri"

"Kakak tahu daerah itu?" Dengan agak ragu kutimpal balik sebuah pertanyaan kepadanya. Aku tahu kalau keduanya telah mengenaliku ketika di bandara menjemputku, tapi aku masih belum kenal nama mereka berdua.

"Tidak!" Sepintas dia tersenyum dan menatapku. Sorotan matanya beradu dengan tatapan bola mataku seperti ada kilatan cahaya yang siap menyambar dan menghanguskan apa saja disekitarnya. Kubalas senyumannya. Sudah lama Aku tidak melatih otot dagu dan kedua pipiku. Jangankan untuk tertawa, mengukir senyum aja dirona wajahku aku enggan tuk mengekspresikannya. Sehingga pantaslah para tetangga memberi julukan kepadaku Mega Mendung.

"Miaaa…?!" Leni temanku, memanggilku dari dapur. Dari saking asyiknya ngobrol aku lupa kalau tiga orang teman serumahku Anggi, Rini, Leni lagi nyiapin masakan buat buka puasa.

"Mia, tolong bantuin buat sambel terasi yaaa…nih ulek sampek halus." Suara lembut Leni terus mengobok hati dan pikiranku tuk menumbuhkan semangatku menyentuh dunia dapur. Hidup di Mesir sebuah tantangan yang berat bagi orang sepertiku yang tak pandai memasak. Aku pikir memasak tidaklah terlalu penting, toh aku di sini bukan untuk belajar memasak, akan tetapi belajar agama.

"Ah…peduli amat sih yang penting bisa mengisi perut kosongku" belum lima menit ku mengulek sambel terasi, sekilas ada rintihan suara dan derap kaki dihadapanku seperti orang yang mengadu.

"Sini aku bantuin ngulek yaaa..."pinta pria itu kepadaku. Aku hanya bisa diam dan membisu tak sanggup menolak tawaran jasanya. Aku malah salah tingkah dibuatnya. Setelah masakan semua telah beres. Ikan bakar, kuah sop, sambel terasi untuk dihidangkan dan disantap mengisi kekosongan waktu menunggu adzan maghrib berkumandang, yah penantian terbesar bagi umat islam yang merupakan akhir sebuah perjalanan berperang melawan hawa nafsu. Kami serumah saling ta’aruf dengan kedua orang pria itu supaya lebih akrab gitu. Seperti kata pepatah Tak Kenal Maka Tak Sayang. Kak Dani dan Kak Rudi nama kedua pria itu.

"Mia pernah ke tahrir?" tanya K’Dani selesai shalat maghrib berjama’ah.

"Belum, daerah mana tuh kak?" tanyaku dengan wajah serius

"Gimana, kalau ku ajak kalian semua besok malam selepas acara silaturrahmi di rumah Pak penasehat ?!" ajak K’Dani. Pria itu menelusuri taman hati mengisi bunga asmara mengganti yang telah layu. Segera kupagari hati dengan besi iman agar aman dari tangan-tangan tak bertanggung jawab. Bibirku kelu menyapa tuk kuucapkan syukran jazilan kepadanya.

Pikiranku bak buih ombak yang berguling-guling di samudera biru nan indah, tapi tampak buram dan jauh di ujung mata beningku. Mengingat posisi sebagai anak yang telah dijodohkan kedua orang tua, dengan seorang lelaki yang tak pernah ku kenal. Konon katanya; dari penjelasan pamanku. Aku dijodohkan semenjak aku kecil dengan putra seorang kyai ternama. Dari penjelasan itupun, baru ku dengar setelah seminggu Aku di wisuda di salah satu pesantren salaf di Jawa Tengah. Pondok yang dulu kuanggap sebuah penjara suci karena pelbagai macam peraturan yang ketat, dengan kegiatan yang padat, mulai dari kegiatan intra sampek ke ekstrakurikuler dan ditambah lagi setumpuk mata pelajaran melelahkan. Begitu keluar darinya bagaikan buruan yang dilepas dari sangkarnya.

Bunga terus tumbuh ditaman hatiku. Pertanyaan masih belum sempat terjawab kalimat itu seperti bom yang siap meledak kapan saja. Hatiku punya strategi ilahi , pertanyaan itu kuajukan pada-Nya dalam setiap sepertiga malam dalam remang-remang lampu temaram. Pria ituterus menyirami bunga di taman hatiku mengokohkan akar keringku. Kutatap wajah pria itu dalam diamku segera ku berpaling ketika dia balik menatap dengan tatapan matanya yang tajam. Ketakutan datang menyapa, takut bunga-bunga di hatiku mekar dan berpindah di taman hatinya sebelum pertanyaanku terjawab oleh-Nya.

Roda kehidupan terus berputar, perjalanan kehidupanku mulai berjeruji ketika kuterjatuh dari atas kendaraan tiada yang dapat menolongku. Tafwidl pada yang Maha Kuasa. Tongkat kesabaran segera kupegang. Ada yang membopongku dibawah kesadaranku. Setelah kutersadar ku bertanya pada yang ada disekelilingku.

" Siapa yang telah menolongku?"

Mereka bungkam dalam seribu bahasa, tapi ku melihat kelebatan bayangan yang tidak asing lagi dalam hatiku. Sehingga tak sanggup menyebut namanya lagi. Ingatanku mulia pulih kembali bersamaan dengan mekarnya bunga di hatiku.

Pria itu terus menyirami bunga di taman hatiku, tapi tak sesering mungkin tak seperti dulu lagi. Terkadang bungaku layu dan berguguran. Kusiram sendiri dengan sisa-sisa air Rahmat-Nya.

Ini adalah suatu dilema dalam hidupku, dimana aku harus memilih antara kehendak orang tua dan pilihanku sendiri, sedangkan jawaban hatiku mulai terjawab oleh-Nya, berangsur-angsur gambar itu jelas tersisip jawaban yang lugas mudah kucerna dan diolah oleh otakku. Tubuhku terkulai lemas tak berdaya. Pikiranku terkotori bermacam kotoran merambat menyebabkan penyakit dalam hati.

"Penyakit apakah itu?" sayup kudengar desiran angin yang berlawanan arah. Segera kulindungi bungaku yang mekar indah di taman hatiku tak ada yang mengusik dan mengganggunya.

"Penyakit itu, penyakit cintakah?" Tidak aku tidak ingin menodai cintaku pada-Nya. Tidak itu bukan penyakit, akan kuobati, tapi itu bunga baru yang menyelusup dalam hatiku. Yach...itu bunga cinta hanya bisa dipetik sang empunya. Entah kapan, hanya menunggu waktu yang tepat. Aku hanya bisa menengadah moga dentuman hatiku tak sampai menyakiti hati pemilik bunga itu, walaupun kemarin kuluapkan dalam amarah, karena dia telah mencubit tangkai bungaku kemudian terlalu lama menjanggal, menggelitik menyayat hati. Tangisku mulai pecah, serpihan-serpihan air mata membasahi kelopak bungaku. Dan moga bunga itu tumbuh mekar dan harum sampai di taman surgawi.

Keterangan :

Ablah : Panggilan bagi yg lebih tua khusus perempuan (bhs arab Ammiyah)
Thobur : Ngantri
Bukroh : Ditunda sampai besok (bhs Arab Ammiyah)
kuliah banat: Kuliah khusus perempuan
Sarir : Kasur
el-Tramco : Salah satu kendaraan dimesir
25 piester : Mata uang mesir, dirupiahkan Rp600
Tahrir : Salah satu daerah wisata dekat sungai nil dimesir



Tidak ada komentar: